berita negatif tentang Presiden RI di media Australia, perlu dilihat dari perspektif tersendiri. Yaitu, hingga saat ini media Australia masih alergi terhadap elit militer di Indonesia.
Sehingga tidak heran kalau yang diulas bukan kinerja SBY tetapi mereka yang sangat dekat atau dipercaya SBY. Pers Australia punya persepsi miring tentang militer Indonesia. Persepsi yang terbentuk dari 32 tahun kekuasaan rezim militer Soeharto. Tersebutlah nama-nama seperti Letjen TB Silalahi, Letjen Sudi Silalahi dan tokoh-tokoh militer lain.
Alerginya media Australia terhadap militer Indonesia tidak lepas dari peristiwa yang mereka sebut Balibo Five. Peristiwa itu terkait dengan terbunuhnya atau pembunuhan terhadap lima wartawan yang bekerja bagi media Australia di Balibo, Timor Timur pada 16 Okrober 1975.
Kelima wartawan itu terdiri atas dua warga negara Australia, Greg Shackleton, 29 dan Tony Stewart, 21, dua warga negara Inggeris Brian Peters, 24 dan Malcom Rennie, 29 serta Gary Cunningham, 27 yang berkebangsaan Selandia Baru.
Media-media Australia, Inggris dan Selandia Baru, hingga saat ini berkesimpulan pembunuhan yang terjadi hampir 36 tahun itu, dilakukan oleh militer Indonesia. Bahkan di 1999, tidak lama setelah Letjen Yunus Yosfiah diangkat Presiden BJ Habibie selaku Menteri Penerangan, media Australia menyiarkan foto Yunus Yosfiah sebagai salah seorang eksekutor dari kelima wartawan muda itu. Yosfiah juga disebut sebagai anggota RPKAD, nama yang digunakan sebelum Kopassus.
Mayoritas wartawan Australia kelihatannya tidak akan pernah bisa melupakan tewasnya 5 wartawan tersebut. Sebab kelima wartawan itu dianggap sebagai simbol wartawan profesional sekalipun usia mereka ketika terbunuh baru berusia antara 21 dan 29 tahun.
Kini para wartawan yang 36 tahun lalu masih bertugas sebagai reporter atau pemula, sekarang sudah menjadi penentu kebijakan redaksional di media-media Australia. Mereka ini merupakan sahabat atau satu generasi dengan mereka yang tewas di Timor Timur.
Sahabat para korban itu menganggap, kelima wartawan itu sengaja dibunuh oleh pasukan TNI yang dikirim Jakarta untuk mencaplok Timor Timur dari Portugal pada Desember 1975.
Pembunuhan kelima wartawan muda yang yang bekerja untuk media Australia itu, selalu menjadi rujukan wartawan Australia, Inggris dan Selandia Baru manakala mereka berbicara atau meliput tentang Indonesia.
Oleh sebab itu jika kali ini media Australia yang ‘menyerang’ pemimpin (militer) Indonesia, bukan mustahil berikutnya datang dari Selandia Baru ataupun Inggris bahkan negara lain anggota persemakmuran.
Di mata mereka, Indonesia merupakan negara yang dipimpin rezim militer-totaliter. Militer Indonesia merupakan kelompok paling kejam dalam menghadapi wartawan. Militer Indonesia tidak menghormati kebebasan pers dan hak publik untuk mendapatkan informasi secara benar.
Ironisnya sekalipun SBY tidak tergolong presiden yang memerintah dengan tangan besi, tetapi karena seorang jenderal, bagi wartawan Australia, ideologinya sama saja dengan militer lainnya. Apalagi SBY masih tetap menggunakan jenderal-jenderal yang sudah aktif ketika rezim Soeharto masih berkuasa.
Mereka adalah TB Silalahi, mantan Menteri PAN, Sudi Silalahi mantan Pangdam Brawijaya, Sjafrie Sjamsoeddin, mantan Pengawal Pribadi Presiden Soeharto dan Syamsir Siregar mantan Kepala BIA (Badan Intelejens ABRI).
Citra buruk militer Indonesia di kalangan wartawan Australia tambah diperkuat oleh John Pilger, wartawan Australia yang menetap di Inggris. Pilger pada 1993, menulis sebuah buku berjudul Massacre in Dili, yang kemudian diangkat produser Inggris ke layar perak pada 1994. Buku dan film ini antara lain memuat potongan gambar Peristiwa Santa Cruz, Desember 1991.
Hingga kini banyak wartawan Australia percaya pada fakta yang disajikan John Pilger. Buku dan film itu oleh pemerintahan Orde Baru dilarang masuk Indonesia. Padahal Pilger juga memuat potongan wawancaranya dengan Dubes RI di PBB ketika itu, Wisnumurti, sehingga larangan itu makin menambah kontroversi sikap Indonesia.
Film Massacre in Dili juga memperoleh promosi yang kuat di Australia dan belahan dunia lainnya sebab Paul Keating, PM Australia yang ketika itu dikenal sangat pro Indonesia, juga menyatakan paling benci dengan karya wartawan Australia itu. Akibatnya poster promosi film dan resensinya selalu diselipi kata-kata "film yang paling dibenci oleh PM Australia".
Wartawan Australia seperti menyimpan memori buruk dan dendam kepada setiap pejabat Indonesia terutama mereka yang pernah bertugas sebagai prajurit ataupun komandan di Timor Timur. Mereka punya catatan bahwa Presiden Yudhoyono juga pernah bertugas di Timor Timur.
Wartawan Australia memiliki kekuatiran terhadap anggota TNI terutama yang berasal dari Kopassus atau baret merah. Sebab menurut catatan wartawan Australia, yang mengeksekusi kelima wartawan tersebut antara lain anggota Kopassus.
Pemerintah Australia di bawah PM Keating menyadari hal ini. Sehingga Keating pada masa jaya pemerintahannya, mendorong Menhan Kim Beazley untuk melakukan kerja sama dengan Kopassus. Kerja sama ini pernah jalan beberapa waktu tapi langsung dihentikan ketika Keating dikalahkan John Howard.
Di Indonesia baret merah selalu memperoleh tempat khusus atau istimewa. Banyak pejabat tinggi di Indonesia yang berasal dari kalangan TNI berasal dari Kopassus. Sehingga tidak heran kalau mereka, wartawan Australia selalu alergi terhadap petinggi Indonesia yang berlatar belakang Kopassus atau pernah bertugas di Timor Timur.
The Age dan Sydney Morning Herald memang cukup terkenal analisa-analisa politiknya tentang Indonesia dan kelompok militernya. Pada 1984, Redaktur Internasional Sydney Morning Herald, David Jenkins menerbitkan buku Suharto and His Generals: Indonesian Military Politics 1975-1983.
Buku ini cukup menggegerkan sebab Jenkins juga menulis bisnis Presiden Soeharto dan keluarganya. Pemerintah RI kemudian melarang wartawan Australia itu masuk ke Indonesia selama 10 tahun (1984-1994). Wartawan Australia baru bisa memperoleh akreditasi di Indonesia setelah Sabam Siagian, bekas Pemimpin Redaksi harian The Jakarta Post menjadi Dubes RI di Canberra.
Serangan dua harian Australia kepada Presiden SBY besar kemungkinan, belum akan berakhir. Terutama karena reaksi Istana yang justru membuat adrenalin kewartawanan merasa benar. Apalagi sebelum masalah ini muncul, Sekretaris Kabinet Dipo Alam sebagai salah seorang lingkar dalam Istana, sedang ‘berperang’ dengan media: TVOne dan Media Group.
Tidak cara lain yang paling efektif kecuali orang-orang Istana mengubah paradigma mereka di dalam melihat pers dan kekuasaan. Selain itu pihak TNI, juga harus bisa menerima kenyataan bahwa tindakan mereka di masa lalu yang banyak menyakiti rakyat sipil, tak bisa dihapus dalam sekejap
0 komentar:
Post a Comment